Jumat, 28 Mei 2010

Bias Gender

Kasus I
Emansipasi Dan Keterwakilan Perempuan Dalam Politik, Implementasikan Segera Pada Pemilu 2009
Pemilu Indonesia adalah paling komplek di dunia dan Indonesia muncul sebagai negara demokrasi terkuat di Asia Tenggara bahkan terkuat ketiga di dunia setelah India dan Amerika, karena itu pemilu 2009 yang tinggal 9 sembilan bulan akan mendapatkan perhatian dari masyarakat internasional. Namun disadari bahwa kendala dan tantangan serta permasalahan yang sedang dan akan dihadapi lebih berat dibandingkan pemilu 2004. Salah satu masalah krusial yang perlu mendapatkan perhatian serius adanya kecenderungan perilaku masyarakat pemilih yang dikhawatirkan akan menurun tingkat partisipasinya bahkan menjadi golput dalam pemilu 2009, bisa dilihat dari pelaksanaan Pilkada dibeberapa daerah khususnya Pilkada Gubernur di Jawa Barat dan Jawa Tengah, tingkat partisipasi masyarakat untuk memilih tidak optimal. Kita harapkan pemilu 2009 akan lebih baik dibandingkan pemilu 2009. Disinilah kiprah perempuan dalam politik akan dimulai. Hal ini disampaikan Menteri Negara Pemberdayaan Perempuan saat membuka acara Advokasi Kepada Organisasi Sosial dan Politik Dalam Rangka Peningkatan Partisipasi Perempuan Pada Pemilu 2009 di Bandung 23 Juli 2008.
Memberikan tantangan bagi perempuan untuk menyakinkan kepada masyarakat maupun partai politik bahwa mereka layak untuk mengisi peluang dan siap berkompetisi dengan mitranya kaum laki-laki dimana kesiapan perempuan dalam pentas politik akan diuji coba dalam pemilu 2009 dan itu bukan satu hal yang mudah.
Selanjutnya dengan lahirnya Undang-undang No. 2 Tahun 2008 tentang Partai Politik dan Undang Undang No. 10 tahun 2008 tentang Pemilu anggota DPR, DPD dan DPRD yang baru makin memberikan jaminan peluang bagi peningkatan keterwakilan perempuan di arena politik, namun disisi lain juga mMotivasi kuat untuk berjuang, dipilih oleh partai politik sebagai kandidat, dipilih oleh para pemilih dan bekal dana yang memadai merupakan persyaratan yang harus dipenuhi. Untuk melewati itu perempuan harus mengembangkan kualitas dan kapasitas dirinya baik rasa percaya diri maupun wawasan pengetahuan, meningkatkan cakrawala seni berpolitik seperti membentuk opini, memformulasikan gagasan/pemikiran dan memyampaikan ide dengan tegas, ujar Meutia.Memberikan tantangan bagi perempuan untuk menyakinkan kepada masyarakat maupun partai politik bahwa mereka layak untuk mengisi peluang dan siap berkompetisi dengan mitranya kaum laki-laki dimana kesiapan perempuan dalam pentas politik akan diuji coba dalam pemilu 2009 dan itu bukan satu hal yang mudah.


Kasus II
HARIAN JOGJA - DEPOK: Hampir 60% calon pemilih di seluruh Indonesia adalah perempuan. Hal itu berarti peluang calon legislatif (caleg) perempuan menduduki kursi parlemen semakin besar. Namun, besarnya jumlah pemilih perempuan belum tentu membuat caleg perempuan melenggang dengan mudah ke kursi parlemen.
“Ada bebrapa faktor mengapa caleg perempuan belum tentu dipilih oleh perempuan. Pertama, budaya patriarki yang masih melekat. Kedua, pengaruh dogma agama yang memunculkan anggapan hanya laki-laki yang pantas menjadi pemimpin. Sehingga, ada legitimasi bahwa perempuan tidak pantas menjadi pemimpin,” kata Sisparyadi, peneliti dari Pusat Studi Wanita (PSW) UGM, pada Senin (30/3) di kantornya.
Menurut Sisparyadi, perempuan menjadi pemimpin tidak ada masalah. Isu-isu perempuan, bukan hanya menjadi milik perempuan, melainkan juga menjadi isu laki-laki.
Selain adanya faktor budaya dan dogma agama, kualitas caleg perempuan juga berpengaruh terhadap upaya perempuan menduduki kursi parlemen. (Rasno A Shobirin)

Kasus III
Bodoh asalkan Jujur
Widminarko mengingatkan, tiap caleg juga harus rajin mengikuti hasil beberapa survei. Ada survei yang menyatakan, caleg pilihan pemilih yang mendapat nilai tertinggi karena integritasnya, kejujurannya. Baru, rasa empatinya, rasa senasibnya dengan rakyat banyak. Persyaratan kualitas rendah sekali angkanya. “Tampaknya terhadap caleg yang akan dipilih, sementara pemilih berpandangan, bodoh tidak apa-apa asalkan jujur,” selorohnya, sambil mengatakan, hasil survei semacam ini bisa dijadikan acuan dalam menentukan topik kampanye.
Ia juga mengamati sebagian caleg terjebak menjadi caleg seolah-olah akan menjadi pejabat eksekutif. Dalam kampanyenya banyak persoalan yang menjadi tanggung jawab lembaga eksekutif diangkat menjadi topiknya. Sebagian mereka lalai, fungsi legislator adalah legislasi, anggaran, dan pengawasan. Tetapi, banyak caleg yang ditanya wartawan, persoalan apa yang berkembang di Bali yang perlu diatur dalam peraturan daerah atau undang-undang, tidak bisa menjawabnya.
Persoalan undang-undang itu pula yang perlu dipikirkan kaum perempuan dalam perjuangannya menghadapi pemilu 2014. Widminarko mengungkapkan contoh di Afghanistan. Target keterwakilan perempaun di parlemen 25%. Tetapi, yang berhasil duduk 27,7%. Penyebabnya, ada alokasi khusus untuk perempuan di tiap daerah pemilihan yang diperebutkan para caleg perempuan. Jadi, caleg perempuan tidak bersaing dengan caleg laki-laki. Jika di daerah pemilihan tidak ada perempuan yang mencapai suara, kursi dikosongkan sampai pemilu berikutnya. Sanksi hukum pun ada, bukan sekadar sanksi moral. “Jadikan pengalaman negara lain itu inspirasi untuk menghadapi pemilu 2014. Sehingga, Indonesia tidak lagi menduduki peringkat ke-97 dari 137 negara dalam hal keterwakilan perempuannya di parlemen seperti sekarang,” pesannya. – tin.

Kasus IV
Memberdayakan Peran Politik Perempuan
BRA Mooryati Soedibyo
Kuota anggota legislatif perempuan sekurang-kurangnya 30% di partai politik (parpol) dan parlemen, merupakan kebijakan yang positif bagi pemberdayaan partisipasi politik perempuan. Jumlah pemilih dalam Pemilu 2004 ini lebih dari 51%-nya adalah perempuan. Karena itu, idealnya kaum perempuan secara struktural memiliki kesempatan lebih besar untuk menjadi politisi, dibandingkan pada pemilu sebelumnya. Namun kenyataannya tidaklah demikian, sebab jalan bagi munculnya banyak politisi perempuan di Indonesia masih menghadapi banyak kendala. Baik dari kaum perempuan itu sendiri maupun kondisi riil politik, dan sosial budaya yang acapkali belum men-support keberadaannya di dunia politik.
Kebijakan kuota bagi perempuan, bila hanya ditempatkan sebagai suatu pengakuan dan kesadaran tanpa adanya realisasi yang konsisten dan terkontrol, maka partisipasi perempuan dalam pengambilan keputusan politik tetap tidak akan mengalami perbaikan. Untuk itu publik khususnya aktivis gerakan perempuan perlu mengawasi agar pelaksanaan kebijakan itu bisa terlaksana secara maksimal. Partai-partai peserta pemilu harus dipantau dan diawasi mengenai kesungguhannya dalam menempatkan calon legislatif perempuan dimulai dari proses rekrutmen sampai hasil akhirnya. Latar belakang penyebab penolakan atau penerimaan partai terhadap seorang calon legislatif perempuan harus diketahui publik.
Publik perlu diberikan pemahaman yang tepat dalam mengukur kadar keseriusan dan komitmen partai dalam menerapkan sistem kuota bagi perempuan di legislatif. Buktinya, hanya sedikit partai yang konsisten menerapkan kuota jumlah perempuan dalam pencalonannya, dengan berbagai alasan atas kendala yang dihadapi dalam realisasinya. Itu pun sebagian besar kaum perempuan masih diletakkan di bawah nomor urut jadi. Di sisi lain, adanya Dewan Perwakilan Daerah (DPD) Provinsi di legislatif selain dari unsur partai, juga memberikan kesempatan bagi peningkatan partisipasi politik perempuan. Hal ini karena keanggotaan DPD dipilih langsung oleh rakyat tanpa melalui jalur partai politik, di mana kapasitas, kompetensi, dan ketokohan individu di daerah provinsi menjadi faktor penarik bagi konstituennya.
Dengan cara ini, kaum perempuan dapat menyerap dan menyuarakan aspirasi konstituennya tanpa dibatasi iklim politik di tubuh partai. Ke depan, perlu diperjuangkan bentuk pemilu dengan sistim distrik dimana anggota legislatif dipilih berdasarkan pilihan konstituen secara langsung.
Kampanye yang dilakukan oleh aktivis LSM dan mahasiswa untuk tidak memilih figur politisi bermasalah utamanya karena pernah melakukan kejahatan/pelecehan seksual terhadap perempuan, adalah perkembangan kepedulian publik terhadap keadilan gender. Hal ini perlu didukung dan dilanjutkan dengan memublikasinya agar kaum perempuan sebagai kelompok yang berkepentingan bisa menentukan aspirasinya secara rasional.
Krisis ekonomi dan ketidakpastian politik di Indonesia menjadi ancaman bagi kesetaraan gender, oleh ”isu-isu riil”dan ”kepentingan nasional”. Sebab dalam masa transisi yang mencakup perubahan struktur dan pemegang kekuasaan, ada kemungkinan lebih banyak orang ingin mempertahankan kebijakan-kebijakan yang bernuansa patriarkis dengan cara apa pun. Karenanya, isu gender yang akan menjadi pemandu perjuangan politik perempuan memiliki resiko nyata terpinggirkan sampai ”suasana sudah lebih stabil atau lebih baik”. Dalam konteks ini, para aktivis perempuan perlu lebih sensitif agar tidak terjebak oleh isu-isu yang dapat mengaburkan misi penegakan keadilan gender secara konkret dan tegas dalam setiap kebijakan politik.
Fakta adanya perbedaan besar dalam hal pendapatan, akses untuk bekerja, kekuatan politik, pendidikan dan bahkan perawatan kesehatan antara perempuan dan laki-laki merupakan kenyataan untuk menjadi isu politik yang secara strategis menuntun partisipasi politik perempuan untuk meraih dukungannya. Para aktivis bahkan politisi perempuan harus mampu mengangkat isu-isu tersebut ke aras perpolitikan dan menjelaskan sebab-sebabnya untuk memastikan dan meyakinkan publik/kaum perempuan, bahwa perbedaan-perbedaan tersebut tidak bisa dianggap normal dan gejala yang bisa diterima begitu saja.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar