Jumat, 28 Mei 2010

Sistem Perladangan Orang Dayak

A. Sistem perladangan

Sitem Perladangan Suku Dayak secara garis besar menganut sistem perladangan (berpindah) sebagai budaya yang merata di kalangan suku Dayak sebagai penduduk asli Kalimantan. Walaupun budaya ini tidak dapat dikatakan khas Suku Dayak, namun ada segi-segi khas dapat dikategorikan sebagai kebudayaan Suku Dayak. Hal ini nampak dalam ketentuan-ketentuan adat dalam berladang di kalangan suku Dayak di Kalimantan :

1. Permintaan Ijin dari kepala suku / kepala adat

2. Pencarian hutan dengan mengikuti ketentuan-ketentuan tertentu, baik dari segi pengetahuan tentang alam, maupun dari segi kepercayaan apakah hutan yang akan digarap itu akan mendatangkan kebahagiaan atau kecelakaan

3. Upacara pembukaan hutan dan penggarapan selanjutnya seperti tebang, bakar dan pembersihan

4. Penanaman padi dengan sistem "manugal" yaitu menggunakan tongkat kayu untuk membuat lubang di tanah yang kemudian diisi dengan benih padi

5. Pekerjaan-pekerjaan berat dalam berladang seperti pembukaan awal dan penugalan biasanya dilakukan secara gotong-royong oleh seluruh penduduk; pekerjaan ini dilakukan secara bergiliran di tiap-tiap ladang. Dengan demikian kebutuhan akan tenaga kerja dapat diatasi bersama

6. Kerja menuai dalam sistem perladangan Suku Dayak pun dilakukan secara gotong royong

7. Peristiwa menugal dan menuai dianggap sebagai peristiwa kegembiraan, dan sebab itu hampir selalu dibarengi dengan nyanyian dan tari-tarian.

Walaupun ada di antara suku-suku Dayak ini yang telah menggunakan sistem persawahan dengan irigasi dan pemakaian bajak yang ditarik kerbau, seperti di kalangan suku-suku Lun Daye di Karayam - Kaltim dan suku Kalabit, namun pada umumnya semua Suku Dayak terbiasa dengan sistem perladangan. Sistem perladangan di kalangan masyarakat suku Dayak ini sudah memperhitungkan sirkulasi rotasi tanaman, dengan menanam kembali lahan bekas berladang dengan tanaman-tanaman keras seperti kopi, karet dan pohon buah-buahan. Juga dengan membiarkan bekas lahan itu menjadi hutan belukar kembali sehingga memperoleh kembali kesuburan dalam kadar yang cukup, kemudian setelah masa daur 4-6 tahun baru lahan tersebut digarap kembali. Oleh sebab itu, perladangan (berpindah) tidak bisa dikambinghitamkan sebagai penyebab kerusakan hutan atau lingkungan hidup.

Sistem perlandangan yang dilaksanakan oleh Suku Dayak ternyata mengandung nilai-nilai ritual dan religi serta selaras dengan prinsip-prinsip konservasi modern. Nilai ritual dan religi dalam sistem perlandangan dapat ditelusuri lewat kegiatan pencarian calon lokasi ladang, cara pembakaran, cara pemanen dan sebagainya. Dalam menentukan calon lokasi ladang suku Dayak terlebih dahulu melakukan ritual khusus dan kontemplasi (tenung).

Ritual dan kontemplasi tersebut dimaksudkan untuk memperoleh petunjuk dan ijin dari roh-roh (gana) yang mendiami hutan yang akan dijadikan calon lokasi ladang apakah daerah tersebut boleh atau tidak dijadikan lokasi ladang. Jawaban boleh atau tidak dapat disampaikan oleh roh-roh salah satunya melalui pertanda gerakan dan suara binatang (burung, rusa dan lain-lain).

Pada suku Dayak kadorih/Dohoi, misalnya, didalam mencari calon tempat berladang dikenal suatu tempat yang disebut Dahiyang yang artinya Iblis atau roh halus melarang tempat tersebut dijadikan lokasi ladang. Ciri-ciri dari tempat yang berdahiyang antara lain (bunyi burung atih berbunyi tit (hanya satu kali) berarti tidak boleh berladang disitu) suara elang menangis atau seperti suara menagis; dan) tanah lengket di parang yang menunjukkan lokasi tersebut tidak subur. Selanjutnya, dalam membuka lokasi ladang pun suku Dayak tidak melakukan secara serampangan, terlebih dahulu dilakukan upacara memindahkan mahkluk halus penunggu hutan atau pohon-pohon yang akan dijadikan lokasi ladang ke tempat lain lewat media darah ayam, telur dan beras.

Cara pembakaran ladang yang dipraktekkan suku Dayak di Kalimantan Tengah juga mengandung unsur pencegahan terhadap pembakaran. Misal, pertama, pembakaran umumnya dilakukan tengah hari saat panas terik mencapai puncaknya dan angin tidak bertiup kencang, hal ini mengandung makna bahwa saat panas terik memuncak maka materi pembakaran akan cepat habis dan tidak menimbulkan asap dalam waktu lama, angin tidak bertiup kencang, sehingga tidak rawan menimbulkan kebakaran tak terkendali; kedua, kegiatan pembakaran dilakukan berlawanan dengan arah angin, mengandung makna agar api tidak menyebar secara cepat yang dapat berakibat kebakaran tidak terkendali; dan ketiga, sebelum pembakaran dilakukan biasanya di sekeliling ladang yang berbatasan dengan hutan bisayanya dibersihkan terlebih dahulu, ini merefleksikan konsep sekat bakar (fire break system) sudah berlaku di struktur kehidupan Suku Dayak.

Dalam melakukan kegiatan penugalan (penanam padi ladang), biasanya para peladang melihat pertanda (dahiang) yang dipresentasikan lewat media suara burung atau melihat tanda bintang dilangit. Suara burung dapat dijadikan pedoman atau keputusan perlu atau tidak dilaksanakan penugalan pada saat itu.

Sistem perladangan menurut pandangan para ahli elogis tidak bertentangan dengan prinsip-prinsip konservasi dan pertanian secara berkelanjutan dengan kondisi tertentu. Konsep daur ulang perladangan melalui sistem bera secara ekologis mendorong hutan subur secara berkelanjutan. Praktek perladangan berpindah umumnya melestarikan tanah dan memungkinkan tanah untuk pulih menjadi subur kembali dan umumnya lebih dapat mengawetkan lingkungan dari pada kegiatan perambahan hutan.

Karena itu perlu dibedakan antara sistem perladangan berpindah (swidden agriculture) dengan sistem perambahan hutan (forest pioneer farming system). Sistem yang terakhir inilah sebetulnya yang menjadi biang kerok kehancuran hutan karena tidak dilakukan dengan prinsip-prinsip perladangan yang sebenarnya dan umumnya dilakukan oleh orang-orang atau badan yang kurang memahami budaya Dayak dalam perladangan.

Namun perlu diingat bahwa sistem perladangan berpindah bukanlah suatu sistem yang statis, melainkan sistem yang dinamis yang juga harus menyesuaikan diri dengan perkembangan sosial ekonomi, budaya dan teknologi yang terjadi serta perlu memperhatikan batasan waktu dan ruang yang ada. Dengan jumlah penduduk yang terus bertambah dan ruang kegiatan ekonomi (kawasan hutan) yang semakin sempit, maka praktek perladangan perlu untuk mengadaptasi diri. Sistem rotasi perladangan dengan bera yang dulunya antara 8-15 tahun, sekarang dalam prakteknya sudah sulit diterapkan karena semakin sempitnya kawasan hutan yang tersisa akibat konversi untuk kegiatan lain seperti perkebunan, pertanian dan lain-lain.

Penggunaan media tanda-tanda alam dan suara serta gerakan binatang (burung, rusa, dll) dalam kegiatan perladangan menggambarkan hubungan dan ketergantungan simbiosis mutualisme antara Suku Dayak dengan alam sekitarnya. Karenanya, sudah dapat dipastikan bahwa Suku Dayak akan selalu menjaga dan memilhara hubungan baik tersebut dalam rangka mempertahankan dan keberlanjutan kegiatan perladangan yang bukan saja menjadi salah satu sistem produksi pertanian melainkan juga sekaligus sebagai identitas suku Dayak. Dari persepktif konservasi, pengunaan media gerakan atau suara burung merepresentasikan pesan perlunya melestarikan satwa liar beserta dengan ekosistemnya. Kehancuran dan kepunahan satwa liar beserta dengan ekosistemnya berarti sama dengan penghancuran dan peniadaan budaya Suku Dayak itu sendiri

Tidak ada komentar:

Posting Komentar