Jumat, 28 Mei 2010

Teori Kultivasi

A. Kaitan teori kultivasi dengan tayangan C&R mengenai KDRT di lingkungan selebriti

Cek dan Ricek merupakan suatu program acara RCTI yang menayangkan segala hal mengenai selebriti Indonesia, diantaranya mengenai aktivitas selebriti, karir selebriti, permasalahan selebriti, termasuk KDRT pada selebriti. Tidak jarang ketika kita menonton C&R ini kita akan mendengar adanya KDRT pada selebriti indonesia diantaranya KDRT pada Manohara, Okie-Pasha, bahkan akhir-akhir ini KDRT yang menimpah artis Cici paramida.

Apabila merujuk pada UU No. 23 tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga, KDRT didefinisikan sebagai setiap perbuatan terhadap seseorang terutama perempuan, yang berakibat timbulnya kesengsaraan atau penderitaan secara fisik, seksual, psikologis dan atau penelantaran rumah tangga, termasuk ancaman untuk melakukan perbuatan, pemaksaan atau perampasan kemerdekaan secara melawan hukum dalam lingkup rumah tangga

KDRT terhadap istri adalah segala bentuk tindak kekerasan yang dilakukan oleh suami terhadap istri yang berakibat menyakiti secara fisik, psikis, seksual dan ekonomi, termasuk ancaman, perampasan kebebasan yang terjadi dalam rumah tangga atau keluarga. Selain itu, hubungan antara suami dan istri diwarnai dengan penyiksaan secara verbal, tidak adanya kehangatan emosional, ketidaksetiaan dan menggunakan kekuasaan untuk mengendalikan istri

Maraknya pemberitaan KDRT pada artis indonesia membangun persepsi pada kita yang menonton tayangan tersebut bahwa KDRT pada artis pada saat sekarang ini adalah suatu hal yang sudah banyak terjadi dan itu sudah merupakan hal yang biasa terjadi pada selebriti indonesia. KDRT sudah menjadi tren bagi para selebriti Indonesia pada saat sekarang ini.

Kasus KDRT pada artis ini sesuai dengan teori komunikasi massa yaitu “cultivation theory”. Teory ini pertama kali dikemukakan oleh Profesor George Gerbner ketika ia menjadi Dekan Annenberg School of Communication di Universitas Pennsylvania Amerika Serikat (AS). Dengan tulisannya berjudul Living with Television: The Violenceprofile, Journal of Communication. Teory ini cocok digunakan karena teori ini berpendapat bahwa televisi menjadi media atau alat utama di mana para penonton televisi belajar tentang masyarakat dan kultur di lingkungannya. Persepsi apa yang terbangun dibenak penonton tentang masyarakat dan budaya sangat ditentukan oleh televisi (2007: 164).

Ini artinya melalui kontak penonton dengan televisi, ia belajar tentang dunia, orang-orangnya, nilai-nilainya, serta adat kebiasaannya. Jadi dengan menonton tayangan C&R mengenai KDRT di lingkungan selebriti maka kita sebagai penonton akan terbangun suatu persepsi bahwa KDRT di lingkungan selebriti adalah hal yang sudah biasa terjadi dan kita akan bernggapan bahwa seperti itulah dunia artis tersebut.

Efek yang ditimbulkan:

1. Efek kognitifnya adalah dimana masyarakat dapat mengetahui bentuk dari kehidupan rumah tangga para selebriti indonesia

2. Efek afektifnya adalah dengan banyaknya pemberitaan mengenai KDRT pada selebriti indonesia maka masyarakat merasa kasihan pada kehidupan rumah tangga selebriti indonesia

3. Efek konatifnya adalah masyarakat banyak yang membenci KDRT

4. Efek terencana jangka panjangnya adalah dengan pemberitaan mengenai KDRT pada selebritis maka masyarakat akan membenci orang yang melakukan KDRT terhadap selebriti indonesia tersebut

5. Efek tidak terencana jangka panjangnya adalah meskipun pemberitaan tentang KRT pada selebriti tersebut sudah tidak ditayangkan lagi tapi masyarakat selalu ingat bahwa selebriti indonesia banyak yang mengalami KDRT

Pedagang Kaki Lima

A. Pengertian

Subyek hukum yaitu orang yang mempunyai hak, manusia pribadi atau badan hukum, yang berhak, berkehendak atau melakukan perbuatan hukum. Badan hukum adalah perkumpulan atau organisasi yang didirikan dan dapat bertindak sebagai subyek hukum, misalnya dapat memiliki kekayaan, mengadakan perjanjian dan sebagainya.

Obyek hukum adalah segala sesuatu yang berguna bagi subyek hukum (manusia dan badan hukum) dan yang dapat menjadi pokok suatu perhubungan hukum, karena sesuatu itu dapat dikuasai oleh subyek hukum (Dirdjosisworo, 2003:128-131).

B. Fungsi hukum

Secara garis besar fungsi hukum dapat dikelompokkan dalam 3 tahap:

1. Sebagai alat ketertiban dan keteraturan masyarakat.

2. Sebagai sarana untuk mewujudkan keadilan sosial lahir dan batin

3. Sebagai sarana penggerak pembangunan

C. Latar Belakang adanya PKL

Dengan adanya peraturan mengenai tanggung jawab pemerintah dalam UUD 1945, hal ini menunjukkan bahwa Negara Indonesia adalah Negara Hukum. Fenomena pedagang kaki lima sudah merupakan permasalahan yang pelik dan juga sudah merupakan permasalahan nasional, karena disetiap kota pasti ada pedagang kaki limanya. Pedagang kaki lima muncul karena:

1. Adanya suatu kondisi pembangunan perekonomian dan pendidikan yang tidak merata di seluruh Negara Kesatuan Republik Indonesi (NKRI) ini.

Pemerintah dalam hal ini sebenarnya memiliki tanggung jawab di dalam melaksanakan pembangunan bidang pendidikan dan bidang perekonomian

2. PKL ini juga timbul dari akibat tidak tersedianya lapangan pekerjaan bagi rakyat kecil yang tidak memiliki kemampuan dalam berproduksi.

Dalam hal ini pemerintah juga mempunyai tanggung jawab dalam penyediaan lapangan pekerjaan.

3. Adanya watak atau mental para birokrat kita yang korup.

Sudah adanya dana baik itu dari Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (RAPBN), Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (RAPBD), atau bantuan dari negara-negara maju didalam menuntaskan masalah kemiskinan tersebut tapi dana itu banyak yang tidak jelas penggunaannya, banyak terjadi penyimpangan-penyimpangan yang penggunaannya hanya memperkaya para birokrat saja.

Jadi PKL ini merupakan salah satu imbas dari semakin banyaknya jumlah rakyat miskin di Indonesia. Mereka berdagang karena tidak ada pilihan lain, mereka tidak memiliki kemampuan pendidikan yang memadai, tidak memiliki tingkat pendapatan ekonomi yang baik, dan tidak adanya lapangan pekerjaan yang tersedia buat mereka. Sehingga untuk memenuhi kebutuhan pokok sehari-hari dan untuk membiayai keluarganya ia harus berdagang di kaki lima

D. Peraturan hukum terhadap PKL menurut pemerintah

Dalam NKRI ini, belum ada Undang-Undang yang khusus mengatur PKL. Padahal fenomena PKL sudah merupakan permasalahan nasional. Karena di setiap kota pasti ada pedagang kaki limanya. Peraturan mengenai PKL ini hanya terdapat dalam peraturan daerah (perda). Perda ini hanya mengatur tentang larangan untuk berdagang bagi PKL di daerah-daerah yang sudah ditentukan.

Seperti di kota Bandung, di dalam perda K3 ini terdapat pasal mengenai PKL yaitu pasal 49 ayat (1) Perda nomor.11 tahun 2005 berbunyi: “bahwa setiap orang atau badan hukum yang melakukan perbuatan berupa:

1. berusaha atau berdagang di trotoar ; badan jalan/jalan; taman; jalur hijau dan tempat-tempat lain yang bukan peruntukkannya tanpa izin dari walikota dikenakan biaya paksa penegakan hukum sebesar Rp.1.000.000,00 (satu juta rupiah ) dan/atau sanksi administrative berupa penahanan untuk sementara waktu KTP atau kartu tanda identitas penduduk lainnya.

2. mendirikan kios dan/atau berjualan di trotoar; taman; jalur hijau; melakukan kegiatan yang dapat mengakibatkan kerusakan kelengkapan taman atau jalur hijau dikenakan pembebanan biaya paksa penegakan hukum sebesar Rp.1.000.000,00 (satu juta rupiah) dan atau sanksi administratif berupa penahanan sementara KTP atau kartu identitas penduduk lainnya

E. Perlindungan hukum terhadap PKL

Walaupun di dalam Perda K3 (kebersihan, keindahan, ketertiban) terdapat pelarangan PKL untuk berjualan di trotoar, jalur hijau, jalan dan badan jalan, serta tempat-tempat yang bukan peruntukannya, namun pemerintah harus mampu menjamin perlindungan dan memenuhi hak-hak ekonomi PKL. Beberapa produk hukum yang dapat dijadikan landasan perlindungan bagi PKL ini adalah:

1. Pasal 27 ayat (2) UUD 1945: “tiap-tiap warga Negara berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan”.

2. Pasal 11 UU nomor 39/1999 mengenai Hak Asasi Manusia: “setiap orang berhak atas pemenuhan kebutuhan dasarnya untuk tumbuh dan berkembang secara layak”

3. Pasal 38 UU nomor 39/1999 mengenai Hak Asasi Manusia:

(1) “setiap warga Negara, sesuai dengan bakat, kecakapan dan kemampuan, berhak atas pekerjaan yang layak”

(2) setiap orang berhak dengan bebas memilih pekerjaan yang disukainya dan ……”

4. Pasal 13 UU nomor 09/1995 tentang usaha kecil: “Pemerintah menumbuhkan iklim usaha dalam aspek perlindungan, dengan menerapkan peraturan perundang-undangan dan kebijaksanaan untuk:

a. menentukan peruntukan tempat usaha yang meliputi pemberian lokasi di pasar, ruang pertokoan, lokasi sentra industri, lokasi pertanian rakyat, lokasi pertambangan rakyat, dan lokasi yang wajar bagi pedagang kaki lima , serta lokasi lainnya.

b. memberikan bantuan konsultasi hukum dan pembelaan.

Fenomena dalam pembongkaran PKL ini selalu tidak memperhatikan dan selalu merusak hak miik para PKL. Padahal hak milik ini telah dijamin oleh UUD 1945 dan UU nomor 39 tahun 1999 mengenai HAM. Diantaranya berbunyi:

1. Pasal 28 G ayat (1) UUD 45, berbunyi “ setiap orang berhak atas perlindungan diri pribadi; keluarga; kehormatan; martabat; dan harta benda yang dibawah kekuasaannya , serta berhak atas rasa aman dan perlindungan dari ancaman ketakutan untuk berbuat atau tidak berbuat sesuatu yang merupakan hak asasi”.

2. Pasal 28 H ayat (4) UUD 45, berbunyi “ setiap orang berhak mempunyai hak milik pribadi dan hak milik tersebut tidak boleh diambil alih secara sewenang-wenang”.

3. Pasal 28 I ayat (4) UUD 45, berbunyi “ perlindungan; pemajuan; penegakan; dan pemenuhan hak asasi manusia adalah tanggung jawab Negara terutama pemerintah”.

Sedangkan didalam Undang-Undang nomor 39 tahun 1999 mengenai HAM, berbunyi sebagai berikut :

1. Pasal 36 ayat (2) berbunyi “ tidak seorang pun boleh dirampas hak miliknya dengan sewenang-wenang”.

2. Pasal 37 ayat (1) berbunyi “pencabutan hak milik atas sesuatu benda demi kepentingan umum; hanya dapat diperbolehkan dengan mengganti kerugian yang wajar dan segera diperbolehkan dengan mengganti kerugian yang wajar dan serta pelaksanaannya sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang ada.

3. Pasal 37 ayat (2) berbunyi “ apabila ada sesuatu benda berdasarkan ketentuan hukum demi kepentingan umum harus dimusnahkan atau tidak diberdayakan baik itu untuk selama-lamanya maupun untuk sementara waktu, maka hal itu dilakukan dengan mengganti kerugian

4. Pasal 40 berbunyi “ setiap orang berhak untuk bertempat tinggal serta berkehidupan yang layak”

Sistem Perladangan Orang Dayak

A. Sistem perladangan

Sitem Perladangan Suku Dayak secara garis besar menganut sistem perladangan (berpindah) sebagai budaya yang merata di kalangan suku Dayak sebagai penduduk asli Kalimantan. Walaupun budaya ini tidak dapat dikatakan khas Suku Dayak, namun ada segi-segi khas dapat dikategorikan sebagai kebudayaan Suku Dayak. Hal ini nampak dalam ketentuan-ketentuan adat dalam berladang di kalangan suku Dayak di Kalimantan :

1. Permintaan Ijin dari kepala suku / kepala adat

2. Pencarian hutan dengan mengikuti ketentuan-ketentuan tertentu, baik dari segi pengetahuan tentang alam, maupun dari segi kepercayaan apakah hutan yang akan digarap itu akan mendatangkan kebahagiaan atau kecelakaan

3. Upacara pembukaan hutan dan penggarapan selanjutnya seperti tebang, bakar dan pembersihan

4. Penanaman padi dengan sistem "manugal" yaitu menggunakan tongkat kayu untuk membuat lubang di tanah yang kemudian diisi dengan benih padi

5. Pekerjaan-pekerjaan berat dalam berladang seperti pembukaan awal dan penugalan biasanya dilakukan secara gotong-royong oleh seluruh penduduk; pekerjaan ini dilakukan secara bergiliran di tiap-tiap ladang. Dengan demikian kebutuhan akan tenaga kerja dapat diatasi bersama

6. Kerja menuai dalam sistem perladangan Suku Dayak pun dilakukan secara gotong royong

7. Peristiwa menugal dan menuai dianggap sebagai peristiwa kegembiraan, dan sebab itu hampir selalu dibarengi dengan nyanyian dan tari-tarian.

Walaupun ada di antara suku-suku Dayak ini yang telah menggunakan sistem persawahan dengan irigasi dan pemakaian bajak yang ditarik kerbau, seperti di kalangan suku-suku Lun Daye di Karayam - Kaltim dan suku Kalabit, namun pada umumnya semua Suku Dayak terbiasa dengan sistem perladangan. Sistem perladangan di kalangan masyarakat suku Dayak ini sudah memperhitungkan sirkulasi rotasi tanaman, dengan menanam kembali lahan bekas berladang dengan tanaman-tanaman keras seperti kopi, karet dan pohon buah-buahan. Juga dengan membiarkan bekas lahan itu menjadi hutan belukar kembali sehingga memperoleh kembali kesuburan dalam kadar yang cukup, kemudian setelah masa daur 4-6 tahun baru lahan tersebut digarap kembali. Oleh sebab itu, perladangan (berpindah) tidak bisa dikambinghitamkan sebagai penyebab kerusakan hutan atau lingkungan hidup.

Sistem perlandangan yang dilaksanakan oleh Suku Dayak ternyata mengandung nilai-nilai ritual dan religi serta selaras dengan prinsip-prinsip konservasi modern. Nilai ritual dan religi dalam sistem perlandangan dapat ditelusuri lewat kegiatan pencarian calon lokasi ladang, cara pembakaran, cara pemanen dan sebagainya. Dalam menentukan calon lokasi ladang suku Dayak terlebih dahulu melakukan ritual khusus dan kontemplasi (tenung).

Ritual dan kontemplasi tersebut dimaksudkan untuk memperoleh petunjuk dan ijin dari roh-roh (gana) yang mendiami hutan yang akan dijadikan calon lokasi ladang apakah daerah tersebut boleh atau tidak dijadikan lokasi ladang. Jawaban boleh atau tidak dapat disampaikan oleh roh-roh salah satunya melalui pertanda gerakan dan suara binatang (burung, rusa dan lain-lain).

Pada suku Dayak kadorih/Dohoi, misalnya, didalam mencari calon tempat berladang dikenal suatu tempat yang disebut Dahiyang yang artinya Iblis atau roh halus melarang tempat tersebut dijadikan lokasi ladang. Ciri-ciri dari tempat yang berdahiyang antara lain (bunyi burung atih berbunyi tit (hanya satu kali) berarti tidak boleh berladang disitu) suara elang menangis atau seperti suara menagis; dan) tanah lengket di parang yang menunjukkan lokasi tersebut tidak subur. Selanjutnya, dalam membuka lokasi ladang pun suku Dayak tidak melakukan secara serampangan, terlebih dahulu dilakukan upacara memindahkan mahkluk halus penunggu hutan atau pohon-pohon yang akan dijadikan lokasi ladang ke tempat lain lewat media darah ayam, telur dan beras.

Cara pembakaran ladang yang dipraktekkan suku Dayak di Kalimantan Tengah juga mengandung unsur pencegahan terhadap pembakaran. Misal, pertama, pembakaran umumnya dilakukan tengah hari saat panas terik mencapai puncaknya dan angin tidak bertiup kencang, hal ini mengandung makna bahwa saat panas terik memuncak maka materi pembakaran akan cepat habis dan tidak menimbulkan asap dalam waktu lama, angin tidak bertiup kencang, sehingga tidak rawan menimbulkan kebakaran tak terkendali; kedua, kegiatan pembakaran dilakukan berlawanan dengan arah angin, mengandung makna agar api tidak menyebar secara cepat yang dapat berakibat kebakaran tidak terkendali; dan ketiga, sebelum pembakaran dilakukan biasanya di sekeliling ladang yang berbatasan dengan hutan bisayanya dibersihkan terlebih dahulu, ini merefleksikan konsep sekat bakar (fire break system) sudah berlaku di struktur kehidupan Suku Dayak.

Dalam melakukan kegiatan penugalan (penanam padi ladang), biasanya para peladang melihat pertanda (dahiang) yang dipresentasikan lewat media suara burung atau melihat tanda bintang dilangit. Suara burung dapat dijadikan pedoman atau keputusan perlu atau tidak dilaksanakan penugalan pada saat itu.

Sistem perladangan menurut pandangan para ahli elogis tidak bertentangan dengan prinsip-prinsip konservasi dan pertanian secara berkelanjutan dengan kondisi tertentu. Konsep daur ulang perladangan melalui sistem bera secara ekologis mendorong hutan subur secara berkelanjutan. Praktek perladangan berpindah umumnya melestarikan tanah dan memungkinkan tanah untuk pulih menjadi subur kembali dan umumnya lebih dapat mengawetkan lingkungan dari pada kegiatan perambahan hutan.

Karena itu perlu dibedakan antara sistem perladangan berpindah (swidden agriculture) dengan sistem perambahan hutan (forest pioneer farming system). Sistem yang terakhir inilah sebetulnya yang menjadi biang kerok kehancuran hutan karena tidak dilakukan dengan prinsip-prinsip perladangan yang sebenarnya dan umumnya dilakukan oleh orang-orang atau badan yang kurang memahami budaya Dayak dalam perladangan.

Namun perlu diingat bahwa sistem perladangan berpindah bukanlah suatu sistem yang statis, melainkan sistem yang dinamis yang juga harus menyesuaikan diri dengan perkembangan sosial ekonomi, budaya dan teknologi yang terjadi serta perlu memperhatikan batasan waktu dan ruang yang ada. Dengan jumlah penduduk yang terus bertambah dan ruang kegiatan ekonomi (kawasan hutan) yang semakin sempit, maka praktek perladangan perlu untuk mengadaptasi diri. Sistem rotasi perladangan dengan bera yang dulunya antara 8-15 tahun, sekarang dalam prakteknya sudah sulit diterapkan karena semakin sempitnya kawasan hutan yang tersisa akibat konversi untuk kegiatan lain seperti perkebunan, pertanian dan lain-lain.

Penggunaan media tanda-tanda alam dan suara serta gerakan binatang (burung, rusa, dll) dalam kegiatan perladangan menggambarkan hubungan dan ketergantungan simbiosis mutualisme antara Suku Dayak dengan alam sekitarnya. Karenanya, sudah dapat dipastikan bahwa Suku Dayak akan selalu menjaga dan memilhara hubungan baik tersebut dalam rangka mempertahankan dan keberlanjutan kegiatan perladangan yang bukan saja menjadi salah satu sistem produksi pertanian melainkan juga sekaligus sebagai identitas suku Dayak. Dari persepktif konservasi, pengunaan media gerakan atau suara burung merepresentasikan pesan perlunya melestarikan satwa liar beserta dengan ekosistemnya. Kehancuran dan kepunahan satwa liar beserta dengan ekosistemnya berarti sama dengan penghancuran dan peniadaan budaya Suku Dayak itu sendiri

Sistem Religi Orang Dayak

A. Sistem religi

Penduduk Dayak memiliki dasar kepercayaan Kaharingan. Istilah Kaharingan diambil dari kata Danum Kaharingan yang berarti air kehidupan. Orang Dayak percaya bahwa di dunia ini banyak terdapat roh-roh halus. Mereka percaya akan:

1. Sangiang (roh yang tinggal di tanah dan udara)

2. Timang (roh yang tinggal di batu keramat)

3. Tondoi (roh yang tinggal di bunga)

4. Kujang (roh yang tinggal di pohon)

5. Longit (roh yang tinggal di mandau-mandau). Roh nenek moyang Suku Dayak sangat berpengaruh pada kehidupan. Beberapa istilah: roh nenek moyang = Liu dunia roh = Ewu Liu (negeri kaya raya) Dewa tertinggi = Ranying

Proses bagi yang meninggal Upacara pembakaran mayat:

1. Tiwah: Ngaju

2. Ijambe: Ma‘anyan

3. Daro: Ot Danum

Peti mayat disebut lesung, yang merupakan kuburan sementara. Sandung / tambak : tempat untuk menyimpan tengkorak yang tidak dibakar dan abu yang berasal dari yang dibakar

Tradisi Penguburan

Tradisi penguburan dan upacara adat kematian pada suku bangsa Dayak diatur tegas dalam hukum adat. Sistem penguburan beragam sejalan dengan sejarah panjang kedatangan manusia di Kalimantan. Dalam sejarahnya terdapat tiga budaya penguburan di Kalimantan :

1. Penguburan tanpa wadah dan tanpa bekal, dengan posisi kerangka dilipat.

2. Penguburan di dalam peti batu (dolmen)

3. Penguburan dengan wadah kayu, anyaman bambu, atau anyaman tikar. Ini merupakan sistem penguburan yang terakhir berkembang.

Pada umumnya terdapat dua tahapan penguburan:

1. Penguburan tahap pertama (primer)

2. Penguburan tahap kedua (sekunder). Penguburan sekunder tidak lagi dilakukan di goa. Di hulu sungai Bahau dan cabang-cabangnya di Kecamatan Pujungan, Malinau, Kaltim, banyak dijumpai kuburan tempayan-dolmen yang merupakan peninggalan megalitik. Perkembangan terakhir, penguburan dengan menggunakan peti mati (lungun) yang ditempatkan di atas tiang atau dalam bangunan kecil dengan posisi ke arah matahari terbit. Prosesi penguburan sekunder yakni:

a. Tiwah adalah prosesi penguburan sekunder pada penganut Kaharingan, sebagai simbol pelepasan arwah menuju lewu tatau (alam kelanggengan) yang dilaksanakan setahun atau beberapa tahun setelah penguburan pertama di dalam tanah.

b. Ijambe adalah prosesi penguburan sekunder pada Dayak Maanyan. Belulang dibakar menjadi abu dan ditempatkan dalam satu wadah

c. Wara

d. Marabia

e. mambatur (Dayak Maanyan)

f. kwangkai (Dayak Benuaq)

Masyarakat Dayak Ngaju mengenal tiga cara penguburan, yakni :

1. Dikubur dalam tanah

2. Diletakkan di pohon besar

3. Dikremasi dalam upacara tiwah.

Asal Orang Dayak

A. Asal usul orang dayak

Ada banyak pendapat tentang asal-usul orang Dayak. Sejauh ini belum ada yang sungguh memuaskan. Pandapat umumnya menempatkan orang Dayak sebagai salah satu kelompok suku asli terbesar dan tertua yang mendiami pulau Kalimantan. Gagasan (penduduk asli) ini didasarkan pada teori migrasi penduduk ke Kalimantan. Bertolak dari pendapat itu, diduga nenek moyang orang Dayak berasal dari beberapa gelombang migrasi.

Gelombang pertama terjadi kira-kira 1 juta tahun yang lalu tepatnya pada periode Intergasial-Pleistosen. Kelompok ini terdiri dari ras Australoid (ras manusia pre-historis yang berasal dari Afrika). Pada zaman Pre-neolitikum, kurang lebih 40.000-20.000 tahun lampau, datang lagi kelompok suku semi nomaden (tergolong manusia moderen, Homo sapiens ras Mongoloid). Penggalian arkeologis di Niah-Serawak, Madai dan Baturong-Sabah membuktikan bahwa kelompok ini sudah menggunakan alat-alat dari batu, hidup berburu dan mengumpulkan hasil hutan dari satu tempat ke tempat lain. Mereka juga sudah mengenal teknologi api.

Kelompok ketiga datang kurang lebih 5000 tahun silam. Mereka ini berasal dari daratan Asia dan tergolong dalam ras Mongoloid juga. Kelompok ini sudah hidup menetap dalam satu komunitas (rumah panjang) dan mengenal tekhnik pertanian lahan kering (berladang). Gelombang migrasi itu masih terus berlanjut hingga abad 21 ini. Teori ini sekaligus menjawab persoalan: mengapa suku bangsa Dayak memiliki begitu banyak varian baik dalam bahasa maupun karakteristik budaya.

Dewasa ini suku bangsa Dayak terbagi dalam enam rumpun besar, yakni:

1. Kenyah-Kayan-Bahau

2. Ot Danum

3. Iban

4. Murut

5. Klemantan

6. Punan.

Keenam rumpun itu terbagi lagi dalam kurang lebih 405 sub suku. Meskipun terbagi dalam ratusan sub suku, kelompok suku Dayak memiliki kesamaan ciri-ciri budaya yang khas. Ciri-ciri tersebut menjadi faktor penentu apakah suatu sub suku di Kalimantan dapat dimasukkan ke dalam kelompok Dayak. Ciri-ciri tersebut adalah

1. Rumah panjang

2. Hasil budaya material seperti tembikar, mandau, sumpit, beliong (kampak Dayak)

3. Pandangan terhadap alam

4. Mata pencaharian (sistem perladangan)

5. Seni tari.

Menurut Prof. Lambut dari Univesitas Lambung Mangkurat, secara etnologis, maka manusia Dayak haruslah dibagi menjadi:

1. Dayak Mongoloid

2. Dayak Malayunoid

3. Dayak Autrolo-Melanosoid

4. Dayak Heteronoid

Pada tahun (1977-1978) saat itu, benua Asia dan pulau Kalimantan yang merupakan bagian nusantara yang masih menyatu, yang memungkinkan ras mongoloid dari asia mengembara melalui daratan dan sampai di Kalimantan dengan melintasi pegunungan yang sekarang disebut pegunungan “Muller-Schwaner”. Suku Dayak merupakan penduduk Kalimantan yang sejati. Namun setelah orang-orang Melayu dari Sumatra dan Semenanjung Malaka datang, mereka makin lama makin mundur ke dalam.

Belum lagi kedatangan orang-orang Bugis, Makasar, dan Jawa pada masa kejayaan Kerajaan Majapahit. Suku Dayak hidup terpencar-pencar di seluruh wilayah Kalimantan dalam rentang waktu yang lama, mereka harus menyebar menelusuri sungai-sungai hingga ke hilir dan kemudian mendiami pesisir pulau Kalimantan. Suku ini terdiri atas beberapa suku yang masing-masing memiliki sifat dan perilaku berbeda. Suku Dayak pernah membangun sebuah kerajaan. Dalam tradisi lisan Dayak, sering disebut ”Nansarunai Usak Jawa”, yakni sebuah kerajaan Dayak Nansarunai yang hancur oleh Majapahit, yang diperkirakan terjadi antara tahun 1309-1389 (Fridolin Ukur,1971). Kejadian tersebut mengakibatkan suku Dayak terdesak dan terpencar, sebagian masuk daerah pedalaman. Arus besar berikutnya terjadi pada saat pengaruh Islam yang berasala dari kerajaan Demak bersama masuknya para pedagang Melayu (sekitar tahun 1608).

Sebagian besar suku Dayak memeluk Islam dan tidak lagi mengakui dirinya sebagai orang Dayak, tapi menyebut dirinya sebagai orang Melayu atau orang Banjar. Sedangkan orang Dayak yang menolak agama Islam kembali menyusuri sungai, masuk ke pedalaman di Kalimantan Tengah, bermukim di daerah-daerah Kayu Tangi, Amuntai, Margasari, Watang Amandit, Labuan Lawas dan Watang Balangan. Sebagain lagi terus terdesak masuk rimba. Orang Dayak pemeluk Islam kebanyakan berada di Kalimantan Selatan dan sebagian Kotawaringin, salah seorang Sultan Kesultanan Banjar yang terkenal adalah Lambung Mangkurat sebenarnya adalah seorang Dayak (Ma’anyan atau Ot Danum)

Tidak hanya dari nusantara, bangsa-bangsa lain juga berdatangan ke Kalimantan. Bangsa Tionghoa diperkirakan mulai datang ke Kalimantan pada masa Dinasti Ming tahun 1368-1643. Dari manuskrip berhuruf kanji disebutkan bahwa kota yang pertama di kunjungi adalah Banjarmasin. Tetapi masih belum jelas apakah bangsa Tionghoa datang pada era Banjarmasin (dibawah hegemoni Majapahit) atau di era Islam. Kedatangan bangsa Tionghoa tidak mengakibatkan perpindahan penduduk Dayak dan tidak memiliki pengaruh langsung karena langsung karena mereka hanya berdagang, terutama dengan kerajaan Banjar di Banjarmasin. Mereka tidak langsung berniaga dengan orang Dayak. Peninggalan bangsa Tionghoa masih disimpan oleh sebagian suku Dayak seperti piring malawen, belanga (guci) dan peralatan keramik.

Sejak awal abad V bangsa Tionghoa telah sampai di Kalimantan. Pada abad XV Raja Yung Lo mengirim sebuah angkatan perang besar ke selatan (termasuk Nusantara) di bawah pimpinan Chang Ho, dan kembali ke Tiongkok pada tahun 1407, setelah sebelumnya singgah ke Jawa, Kalimantan, Malaka, Manila dan olok. Pada tahun 1750, Sultan Mempawah menerima orang-orang Tionghoa (dari Brunei) yang sedang mencari emas. Orang-orang Tionghoa tersebut membawa juga barang dagangan diantaranya candu, sutera, barang pecah belah seperti piring, cangkir, mangkok dan guci

Pengertian Deskripsi

1. Deskripsi

Pengertian: Karangan yang menggambarkan atau menerima sesuatu dengan sejelas-jelasnya sehingga pembaca seolah-olah menyatakan/mengalami sendiri hal/peristiwa yang digambarkan.

Contoh: Mesjid itu berada di seberang jalan tempat tinggal Pak Madi. Mesjid itu mempunyai ruangan yang cukup luas. Disebelah kanan dekat pintu masuk mesjid itu ada beberapa tempat berwuduk yang digunakan oleh jemaah mesjid itu. Sedangkan di sebelah kiri dan belakang mesjid itu terdapat beberapa rumah-rumah penduduk. Selain ruangan mesjid yang luas, halaman depan mesjid itupun cukup luas. Disana terdapat kendaraan-kendaraan para jamaah mesjid itu yang tsersusun dengan rapi.

2. Eksposisi

Pengertian: Karangan yang berusaha menerangkan/menginformasikan suatu hal untuk memperluas wawasan pembaca.

Contoh: Kongnisi merupakan konsep yang luas dan inklusif yang berhubungan dengan kegiatan mental dalam memperoleh, mengolah, mengorganisasi, dan menggunakan pengetahuan. Proses utama yang termasuk didalam istilah kongnisi mencakup mendeteksi, menginterpretasi, mengklasifikasi, dan mengingat informasi, mengevaluasi gagasan, menyaring prinsip, dan menarik kesimpulan dari aturan; membayangkan kemungkinan, mengatur strategi, berfantasi, dan bermimpi.

3. Persuasi

Pengertian: Karangan yang bertujuan mempengaruhi pikiran, pendapat, atau sikap pembaca dengan memberikan penekanan aspek emosional.

Contoh: Galatea adalah patung gading karya agung Pygmalion yang demikian indah serta sempurna. Sesempurna seorang perempuan khayalan yang tak pernah dijumpai. Ikal rambut serta cemerlang paras wajah Galatea tidak tertandingi oleh perempuan manapun. Demikian pula lekuk tubuh dan kehalusan kulitnya yang terbuat dari gading dikisahkan selembut sutera jika disentuh.

4. Argumentasi

Pengertian: Karangan yang bertujuan membuktikan sesuatu. Melalui pengamatan, penelitian, analisis, dan sintesis dapat dikumpulkan beberapa angka, grafik, dan lain-lain untuk membuktikan kebenaran paparan paragraf/karangan tersebut.

Contoh: Albert Bandura (1969) melakukan suatu percobaan klasik untuk menyelidiki perilaku meniru pada anak-anak. Dalam penelitiannya, ia menguji hipotesis bahwa anak-anak lebih meniru sikap hangat dan ramahnya orang dewasa daripada sikap acuh tak acuh. Selanjutnya anak-anak itu memperhatikan model orang dewasa tersebut menampilkan rangkaian perbuatan tertentu seperti memukul boneka dengan karet dan mereka memperoleh kesempatan untuk menirunya. Ternyata mereka lebih banyak meniru sikap hangat dan ramah daripada sikap dingin dan acuh.

5. Narasi

Pengertian: Karangan yang menceritakan/yang mengisahkan suatu peristiwa atau kejadian.

Contoh: Pada tahun 1968 bersama-sama dengan Jacobson, seorang pakar psikologi, Rosenthal mempublikasikan hasil penelitian mereka yang didasari oleh penelitian lapangan pada sejumlah guru sekolah dan sejumlah murid sekolah dasar dari delapan belas kelas. Penelitian tersebut dinamakan “Pygmalion in the classroom” (Pygmalion di dalam kelas).

Sosiologi Perkotaan

A. Pengertian

Menurut Elfindri (2002:24), nelayan adalah orang yang secara aktif melakukan kegiatan menangkap ikan, baik secara langsung (seperti penebar dan pemakai jaring) maupun secara tidak langsung (seperti juru mudi perahu layar, nakhoda kapal ikan bermotor, ahli mesin kapal penangkap ikan) sebagai mata pencaharian.

Sementara itu, Mubyarto (1999:119) mengidentifikasikan golongan nelayan berdasarkan pada pasar tenaga kerja pedesaan. Rumah tinggal nelayan dibedakan atas tiga tingkatan yaitu :

1. Nelayan kaya, yaitu mereka yang memiliki armada alat tangkap dan mempekerjakan nelayan lain sebagai pandega tanpa mereka sendiri ikut ke laut.

2. Nelayan sedang, yaitu nelayan yang memiliki armada alat tangkap umumnya didapat secara mencicil dan mereka sendiri ikut melaut.

3. Nelayan miskin/nelayan buruh, yaitu mereka yang hanya mengandalkan waktu dan tenaga untuk mendapatkan upah dengan cara bagi hasil.

B. Faktor penyebab

Para nelayan melakukan pekerjaan melaut disebabkan karena faktor ekonomi, yaitu untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari, ketika nelayan tidak melaut maka untuk memenuhi kebutuhan perekonomian, nelayan tersebut menggunakan tabungan bahkan berhutang kepada tetangga yang lain. Adanya waktu luang menyebabkan nelayan melaut sebagai pekerjaan sampingan, dimana mereka berpendapat dari pada waktu terbuang sia-sia lebih baik digunakan untuk kegiatan yang lebih bermanfaat dan bisa menambah penghasilan keluarga. Alasan lain dikarenakan faktor tempat tinggal mereka yang berada di tepi pantai, karena mereka tinggal di tepi pantai mereka juga ikut-ikutan melaut yang kadang-kadang juga karena diajak teman-temannya.

C. Hambatan

Ketika melaut tidak jarang ditemukan hambatan-hambatan yang dihadapi oleh nelayan seperti : cuaca, dimana ketika cuaca buruk nelayan sulit melaut dikarenakan ombak yang terlalu besar, kadang perahu mereka terbalik dan susah untuk menepi. Hambatan lain yang juga dirasakan nelayan adalah kekurangan alat-alat melaut seperti mesin dan perahu, dan jika angin kencang perahu susah untuk ke tengah.

D. Solusi

Pekerjaan nelayan tidak semudah yang kita pikirkan, berbagai hambatan pasti akan ditemui seperti yang telah dibahas sebelumnya. Adapun solusi agar nelayan tidak mengalami banyak hambatan baik hambatan dalam melaut maupun dalam pemenuhan kebutuhan sehari-hari yaitu mengetahui terlebih dahulu keadaan cuaca apakah baik atau buruk untuk berlayar, melakukan pola nafkah ganda dimana selain melaut nelayan juga punya pekerjan lain seperti berdagang. Jadi ketika keadaan untuk melaut tidak memungkinkan atau cuaca buruk nelayan masih bisa memenuhi kebutuhan hidup dengan melakukan pekerjaan sampingan tersebut.